Rabu, 13 Juni 2012

Perkembangan HAM di Indonesia


Perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia

Pemahaman Ham di Indonesia sebagai tatanan nilai, norma, sikap yang hidup di masyarakat dan acuan bertindak pada dasarnya berlangsung sudah cukup lama.

A.    Periode Sebelum Kemerdekaan ( 1908 – 1945 )

Perkembangan HAM pada periode sebelum kemerdekaan memiliki ciri khas seperti besifat tradisional.Dengan cara yang sederhana,dipimpin oleh tokoh masyarakat,agama atau kalangan bangsawan,belum teroganisasi secara modern,dan khususnya perjuangan kemerdekaan masih mengandalkan kekuatan fisik persenjataan.contoh tokoh masyarakat yang menyelamatkan HAM adalah R.A Kartini dan Dewi Sartika,beliau memperjuangkan peningkatan harkat dan martabat kaum wanita pada masanya,perjuangan fisik yang mengandalkan kekuatan senjata,misalnya Si Singamangaraja,Cut Nyak Dien,Tuanku Imam Bonjol,Pangeran Diponogoro,Sultan Hasanudin,Patimura,dan tokoh lainya.
Pada periode ini juga bangsa Indonesia diberikan kebebasan berserikat dan berkumpul, terbukti dengan berdirinya organisasi budi utomo dimana organisasi ini menjadi cikal bakal dalam pendidikan di Indonesia Boedi Oetomo, dalam konteks pemikiran HAM, pemimpin Boedi Oetomo telah memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi – petisi yang dilakukan kepada pemerintah kolonial maupun dalam tulisan yang dalam surat kabar goeroe desa.
Contoh:Budi Utomo memperjuangkan bangsa indonesia melalui sebuah pendidikan.

B.     Periode Setelah Kemerdekaan ( 1945 – sekarang )

a) Periode 1945 – 1950

Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih pada hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk kedalam hukum dasar Negara ( konstitusi ) yaitu, UUD 45. komitmen terhadap HAM pada periode awal sebagaimana ditunjukkan dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1 November 1945.
Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan partai politik. Sebagaimana tertera dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945.
contoh:memberi kebebasan untuk mendirikan partai politik dan berpendapat di parlemen.

b) Periode 1950 – 1959

Periode 1950 – 1959 dalam perjalanan Negara Indonesia dikenal dengan sebutan periode Demokrasi Parlementer. Pemikiran HAM pada periode ini menapatkan momentum yang sangat membanggakan, karena suasana kebebasan yang menjadi semangat demokrasi liberal atau demokrasi parlementer mendapatkan tempat di kalangan elit politik. Seperti dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami “ pasang” dan menikmati “ bulan madu “ kebebasan. Indikatornya menurut ahli hukum tata Negara ini ada lima aspek. Pertama, semakin banyak tumbuh partai – partai politik dengan beragam ideologinya masing-masing. Kedua, Kebebasan pers sebagai pilar demokrasi betul-betul menikmati kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, fair (adil) dan demokratis. Keempat, parlemen atau dewan perwakilan rakyat resprentasi dari kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol yang semakin efektif terhadap eksekutif. Kelima, wacana dan pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.

c) Periode 1959 – 1966

Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin sebagai reaksi penolakan Soekarno terhaap sistem demokrasi Parlementer. Pada sistem ini ( demokrasi terpimpin ) kekuasan berpusat pada dan berada ditangan presiden. Akibat dari sistem demokrasi terpimpin Presiden melakukan tindakan inkonstitusional baik pada tataran supratruktur politik maupun dalam tataran infrastruktur poltik. Dalam kaitan dengan HAM, telah terjadi pemasungan hak asasi masyarakat yaitu hak sipil dan dan hak politik.

d) Periode 1966 – 1998

Setelah terjadi peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, ada semangat untuk menegakkan HAM. Pada masa awal periode ini telah diadakan berbagai seminar tentang HAM. Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan Pengadilan HAM, pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayah Asia. Selanjutnya pada pada tahun 1968 diadakan seminar Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya hak uji materil ( judical review ) untuk dilakukan guna melindungi HAM. Begitu pula dalam rangka pelaksanan TAP MPRS No. XIV/MPRS 1966 MPRS melalui Panitia Ad Hoc IV telah menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam piagam tentang Hak – hak Asasi Manusia dan Hak – hak serta Kewajiban Warganegara.

Sementara itu, pada sekitar awal tahun 1970-an sampai periode akhir 1980-an persoalan HAM mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan ditegakkan. Pemerintah pada periode ini bersifat defensif dan represif yang dicerminkan dari produk hukum yang umumnya restriktif terhadap HAM. Sikap defensif pemerintah tercermin dalam ungkapan bahwa HAM adalah produk pemikiran barat yang tidak sesuai dengan nilai –nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila serta bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang terlebih dahulu dibandingkan dengan deklarasi Universal HAM. Selain itu sikap defensif pemerintah ini berdasarkan pada anggapan bahwa isu HAM seringkali digunakan oleh Negara – Negara Barat untuk memojokkan Negara yang sedang berkembang seperti Inonesia.

Meskipun dari pihak pemerintah mengalami kemandegan bahkan kemunduran, pemikiran HAM nampaknya terus ada pada periode ini terutama dikalangan masyarakat yang dimotori oleh LSM ( Lembaga Swadaya Masyarakat ) dan masyarakat akademisi yang concern terhaap penegakan HAM. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat melalui pembentukan jaringan dan lobi internasional terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi seprti kasus Tanjung Priok, kasus Keung Ombo, kasus DOM di Aceh, kasus di Irian Jaya, dan sebagainya.
Upaya yang dilakukan oleh masyarakat menjelang periode 1990-an nampak memperoleh hasil yang menggembirakan karena terjadi pergeseran strategi pemerintah dari represif dan defensif menjadi ke strategi akomodatif terhadap tuntutan yang berkaitan dengan penegakan HAM. Salah satu sikap akomodatif pemerintah terhadap tuntutan penegakan HAM adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) berdasarkan KEPRES No. 50 Tahun 1993 tertanggal 7 Juni 1993.
Lembaga ini bertugas untuk memantau dan menyeliiki pelaksanaan HAM, serta memberi pendapat, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM.
Contoh : telah dibentuk KOMNAS HAM, walaupun pelaksanaannya belum optimal.

e) Periode 1998 – sekarang

Pergantian rezim pemerintahan pada tahan 1998 memberikan dampak yang sangat besar pada pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat ini mulai dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah orde baru yang beralwanan dengan pemjuan dan perlindungan HAM. Selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan perundang – undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di Indonesia. Hasil dari pengkajian tersebut menunjukkan banyaknya norma dan ketentuan hukum nasional khususnya yang terkait dengan penegakan HAM diadopsi dari hukum dan instrumen Internasional dalam bidang HAM.

Strategi penegakan HAM pada periode ini dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap status penentuan dan tahap penataan aturan secara konsisten. pada tahap penentuan telah ditetapkan beberapa penentuan perundang – undangan tentang HAM seperti amandemen konstitusi Negara ( Undang – undang Dasar 1945 ), ketetapan MPR ( TAP MPR ), Undang-undang (UU), peraturan pemerintah dan ketentuan perundang–undangan lainnya.
Contoh: dilakukan Penyusunan Peraturan Perundang–undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di Indonesia.

Selasa, 12 Juni 2012

sekolah ideal



“Sekolahku dan Masa Depan Pendidikanku”

Berbicara mengenai Sekolah Ideal, dalam sharing ini saya ingin membicarakan mengenai pandangan atau gambaran saya mengenai seperti apa sekolah ideal itu.
Sekolah ideal menurut pandangan saya adalah bukanlah sekolah yang mempunyai banyak siswanya, memiliki gedung megah dan bagus, apalagi dengan biaya yang sangat mahal. Tapi sekolah ideal yang saya gambarkan adalah sekolah yang tidak menonjolkan kwantitas tapi kwalitasnya. Sekolah yang mencetak manusia-manusia yang unggul dan menjadi alumni yang berguna bagi masyarakat luas. Kita jangan sampai terjebak pada istilah-istilah sekolah favourit, unggulan, plus dan lain-lain. Padahal yang dikembangkan hanya pada aspek kognitif saja atau academic minded. Sekolah yang baik adalah sekolah yang mampu menggali, mengembangkan dan mengoptimalkan seluruh potensi (baca: kecerdasan majemuk) peserta didiknya.
Kurikulum pembelajaran.
Kurikulum bisa dikatakan sebagai jantungnya pendidikan. Dikarenakan di dalamnya berisi tentang perencanaan pembelajaran yang menyangkut semua kegiatan yang dilakukan dan dialami peserta didik dalam perkembangan, baik formal maupun informal guna mencapai tujuan pendidikan. Walaupun penerapan kurikulum ini sudah diatur dan diseragamkan dari pusat, tetapi pihak penyelenggara pendidikan dapat melakukan modifikasi-modifikasi disesuaikan dengan kondisi sekolah, lingkungan, dan kebutuhan masyarakat.
Maka, sangat dimungkinkan akan terjadi kompetisi di antara sekolah-sekolah, tentang bagaimana menampilkan profil sekolah dan keunggulan-keunggulannya dalam hal muatan materi pembelajaran dan kegiatan sekolah. Oleh karena itu, orang tua dan calon siswa harus benar-benar jeli dan teliti dalam memilih sekolah terutama pertimbangan dari sisi kurikulum yang diterapkan sekolah tersebut. Kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang diselenggarakan sekolah juga perlu dicermati, apakah dimungkinkan dapat mengoptimalkan bakat dan potensi peserta didik.
Porsi Pendidikan Agama.
Di zaman sekarang ini, banyak kasus yang menimpa generasi penerus kita termasuk para pelajar, mulai dari kasus tawuran, narkotika, pergaulan bebas dan perbuatan menyimpang lainnya, maka peran pendidikan agama menjadi sangat signifikan terutama dalam membentuk kharakter dan perilaku siswa.
Melalui pendidikan agama yang cukup, diharapkan para peserta didik akan muncul kesadaran dan pemahaman yang benar mengenai tugas, peran dan tanggung jawabnya sebagai hamba Tuhan, anak, siswa dan anggota masyarakat. Oleh karena itu, porsi pendidikan agama yang diterapkan oleh suatu sekolah hendaknuya menjadi bahan pertimbangan penting orang tua dan anak dalam memilih sekolah.
Mungkin dari sini, sekolah-sekolah swasta yang berbasiskan agama dapat menjadi solusinya. Sekolah ini jelas-jelas memberikan porsi lebih banyak untuk pendidikan agama, bahkan sudah dipadukan dengan mata pelajaran lain, sehingga terdapat internalisasi nilai-nilai agama di setiap bahan ajar. Apalagi di jenjang pendidikan dasar, ibaratnya sebagai momentum peletakan pondasi bangunan kepribadian dan pengoptimalan seluruh potensi siswa. Maka, agama menjadi komponen paling penting dalam membentuk dan membangun kharakter siswa.
Pendidik
Keberhasilan dari proses dan hasil output pendidikan tidak dapat dilepaskan dari andil guru. Boleh dikatakan guru sebagai ujung tombak pendidikan untuk mencetak dan mengkader generasi penerus yang didambakan. Apalah artinya kurikulum yang ideal jika tidak didukung oleh pelaksananya, yaitu sumber daya manusia yang cakap. Maka tidak heran, jika pemerintah terus-menerus berusaha meningkatkan kompetensi guru melalui berbagai program, mulai dari penataran-penataran, beasiswa pendidikan dan sertifikasi guru.
seorang guru harus memiliki kepribadian yang mantap yang patut diteladani. Dengan demikian, seorang guru akan mampu menjadi seorang pemimpin yang menjalankan peran : ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Guru juga harus memiliki pengetahuan yang luas, mendalam dari bidang studi yang diajarkannya, memilih dan menggunakan berbagai metode mengajar di dalam proses belajar mengajar yang diselenggarakannya. Serta guru juga harus mampu berkomunikasi baik dengan siswa, sesama guru, maupun masyarakat luas.
Biaya pendidikan.
Sekolah bagus itu tidak mesti sekolah yang biaya pendidikannya mahal, akan tetapi sekolah itu bisa menerima siswa dari kalangan tidak mampu sampai yang mampu. Siswa yang tidak mampu bisa mendapatkan beasiswa tidak mampu atau beasiswa siswa berprestasi. jika biaya pendidikan yang mahal harus diimbangi juga dengan pelayanan dan kualitas yang memadai.
Hal ini berkaitan dengan fasilitas pembelajaran dan program-program unggulan yang ditawarkan. Namun yang perlu diingat bahwa, tingginya biaya pendidikan yang diterapkan pihak sekolah hendaknya diikuti juga dengan pelayanan pendidikan yang berkualitas.
Gedung dan fasilitas.
Komponen pendidikan yang tidak kalah pentingnya adalah sarana dan prasarana yang mendukung. Mulai dari bangunan fisik, ruang kelas, taman, perpustakaan, laboratorium, sarana olah raga dan kesenian, arena bermain, kantin, perlengkapan kelas, sampai dengan alat peraga edukasi yang dimiliki. Seiring dengan kemajuan bidang informasi dan teknologi, nampaknya bukan hal yang baru sebuah sekolah memiliki fasilitas akses jaringan internet dan website sendiri, dimana setiap stake holders dapat berinteraksi dan berkomunikasi di dunia maya.
Hal ini, akan sangat membantu bagi orang tua untuk memantau perkembangan putra-putrinya secara cepat tanpa harus secara fisik datang ke sekolah. Dengan didukung sarana dan prasarana yang baik,diharapkan semua peserta didik dapat belajar secara enjoy, nyaman, dan betah. Sekolah diibaratkan sebagai rumah kedua bagi anak-anak,sehingga sekolah yang baik mampu memenuhi kebutuhan dan keinginan siswa. Hal yang perlu diperhatikan juga mengenai rasio jumlah siswa dengan luas ruangan kelas serta fasilitas pembelajaran yang lain.
Lokasi sekolah dan lingkungan.
Lokasi yang dimaksud dapat dipandang dari jarak sekolah ke rumah, lingkungan sekitar dan sarana transportasinya. Bisa dibayangkan seorang anak harus bangun pagi-pagi sekali karena letak sekolahnya jauh. Tentu ia pulang dalam keadaan lelah karena jarak yang ditempuhnya memakan waktu yang lama. Belum lagi jika terjadi kemacetan lalu lintas, bisa dimungkinkan sering terlambat pulang maupun masuk sekolahnya.
Lalu kapan ia bisa belajar di rumah dengan nyaman? Bagaimana ia bias mengembangkan interaksi dengan anggota keluarga lain di rumahnya? Maka, faktor lokasi dan lingkungan ini hendaknya diperhatikan oleh orang tua dan anak itu sendiri dalam menentukan sekolah pilihannya. Perlu dipikirkan juga mengenai sekolah yang berlokasi di pusat perkotaan atau keramaian dan yang berada di pinggiran atau lebih dekat dengan suasana alam, semua memiliki plus-minus-nya.
Ketertiban dan kebersihan sekolah.
Kondisi sekolah yang nyaman, teduh, tenang, tertib dan lingkungan yang bersih tentu saja akan mendukung suasana proses pembelajaran. Berbeda dengan suasana sekolah yang terkesan kumuh, gersang, gaduh, penempatan perabot sekolah yang semrawut, dan tidak ada kedisiplinan yang diterapkan, maka proses belajar mengajar akan banyak terganggu dan kurang optimal hasilnya. Kata kuncinya, siswa di sekolah harus merasa senang dan betah seperti ketika berada di rumahnya sendiri.
Lihat prestasi dan keberhasilan alumninya.
Kriteria yang tidak boleh ditinggalkan dalam sekolah yang ideal adalah prestasi dan profil output-nya. Sekolah yang baik ,selain unggul di dalam proses, juga unggul pada hasilnya. Seperti telah diuraikan di muka, yang disebut prestasi tidak hanya secara akademik, tetapi juga non akademik baik siswa, guru maupun institusinya.
Bagaimana perkembangan bakat dan potensinya, sikap, perilaku, kemandirian, keterampilan dan keahlian lain yang mendukung. Sedangkan Keberhasilan alumni dapat diukur dari lulusan sekolah dapat diterima di sekolah lanjutan yang kualitasnya baik serta memiliki life skill yang cukup untuk mampu eksis di tengah masyarakat.
Mungkin itu saja gambaran dari saya tentang sekolah ideal, sekolah yang sederhana tapi mutunya luar biasa adalah sekolah yang diidam-idamkan pada semua anak didik. Negara yang hebat adalah negara yang maju karena pendidikannya bukan karena kekayaan alamnya. Maka dari itu saya berharap sistem pendidikan dinegeri ini harus lebih baik lagi, agar bisa membangun semangat anak-anak untuk sekolah.
Kita tidak akan berubah menjadi orang yang pandai selain kita sendiri yang merubahnya, pendidikan adalah modal kita untuk dimasa depan.

Selasa, 05 Juni 2012

BELAJAR JARAK JAUH


A.    Pengertian Pendidikan Jarak jauh
Pengertian pendidikan jarak jauh adalah pendidikan terbuka dengan program program belajar yang terstruktur relatif ketat dan pola pembelajaran yang berlangsung tanpa tanpa muka atau keterpisahan antara instruktur dan peserta diklat (Sadirman, dkk, 1996:13). Diklat jarak jauh adalah suatu model pembelajaran yang membebaskan peserta Diklat untuk dapat belajar tanpa terikat oleh ruang dan waktu dengan sesedikit mungkin bantuan dari orang lain. Proses pembelajaran delakukan dengan perantara media yang memanfaatkan TIK, tetapi sampai saat ini sebagian besar dalam bentuk media cetak yang dirancang secara khusus.
Menurut UU nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 ayat 15 dijelaskan bahwa Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) adalah pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui Tekhnologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dan media lain.

B.     Kegiatan Pembelajaran Jarak jauh
Proses pembelajaran merupakan jantung pendidikan, sehingga dalam Diklat Jarak Jauh, pembelajaran menempati posisi dan peranan sangat penting. Pembelajaran adalah  usaha untuk membuat peserta Diklat belajar. Belajar merupakan suatu proses pribadi yang tidak harus dan merupakan akibat dari kegiatan mengajar. Guru dan instruktur melakukan pembelajaran tidak selalu diikuti terjadinya kegiatan belajar pada peserta Diklat. Sebaliknya, peserta Diklat dapat melakukan kegiatan belajar tanpa harus ada guru/instruktur yang mengajar. Namun, dalam kegiatan peserta Diklat ini ada kegiatan membelajarkan, yaitu misalnya yang dilakukan oleh penulis bahan belajar (modul), atau pengembang program video atau audio-pembelajaran, dan sebagainya (Miarso, 2004: 553-554)[1].
Proses belajar bersifat individu dan kontekstual, artinya proses belajar terjadi dalam diri peserta Diklat sesuai dengan perkembangan dan lingkungan. Peserta diklat seharusnya tidak hanya belajar dari guru atau instruktur saja, tetapi dapat pula belajar dengan berbagai sumber yang tersedia dilingkunagan.
Dengan demikian, pola pembelajaran dalam Diklat Jarak Jauh dapat berbentuk belajar mandiri,  belajar kelompok, dan belajar terbimbing dengan tutor dalam tutorial tatap muka. Adapun deskripsi dan uraian masing-masing bentuk atau pola pembelajaran dalam Diklat Jarak Jauh dapat diuraikan sebagai berikut :
1.      Belajar Mandiri ( Independent Learning)
Belajar mandiri adalah suatu bentuk belajar yang memberikan otonomi dan tanggung jawab kepada peserta Diklat untuk mengambil prakarsa atau inisiatif dan peran aktif dalam mengatur sendiri berbagai aspek kegiatan belajarnya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, tanpa selalu bergantung pada bantuan dan bimbingan orang lain. Berbeda dengan proses pembelajaran tatap muka, maka proses pembelajaran pada Diklat jarak jauh memfokuskan pada keperluan dan kemampuan belajar peserta Diklat secara mandiri. Proses pembelajaran tersebut memanfaatkan media belajar dan dukuangan belajar yang dikelola secara optimal oleh intitusi Diklat untuk mencapai tingkat kompetensi yang dirumuskan dalam sasaran program Diklat.
2.      Kegiatan Belajar Kelompok
Belajar kelompok dimaksudkan untuk menopang belajar mandiri. Dengan kata lain, belajar kelompok disarankan dilakukan oleh peserta Diklat untuk mengefektifkan belajar mandiri. Artinya, dengan adanya belajar kelompok  ini semangat dan minat belajar peserta bertambah (Asandhimitra, dkk. Ed., 2004: 433) dengan demikian, belajar kelompok ini sangat bermanfaat dalam melaksanakan tugas belajar mandiri.
Kunci utama belajar kelompok adalah adanya kesepakatan, rasa kebersamaan, saling pengertian, kemandirian, keleluasan, dan kesenangan yang dirasakan oleh setiap anggota kelompok (Asandhimitra, dkk. Ed., 2004: 433). Salah satu untuk meningkatkan partisipasi peserta dalam belajar kelompok ini dengan  cara meningkatkan partisipasi motivasi dan kreativitas belajar.
3.      Kegiatan Tutorial
Dalam Diklat jarak jauh kegiatan tutorial merupakan bagian dari kegiatan pembelajaran. Pengelola suatu Diklat jarak jauh berkewajiban menyediakan layanan tutor sebagai salah satu layanan bantuan belajar bagi peserta Diklat.
Dalam Diklat jarak jauh dikenal beberapa model tutorial, yaitu tutorial tatap muka, tutorial tertulis  melalui surat menyurat, tutorial tertulis melalui media massa, tutorial tertulis melalui surat elektronik, tutorial melalui siaran radio, tutorial radio aktif dan tutorial melalui siaran televisi.

C.    Bahan Belajar Diklat Jarak Jauh
1)      Cetak (Modul)
Bahan belajar utama yang digunakan dalam Diklat Jarak Jauh pada umumnya adalah modul cetak, yaitu bahan belajar yang sengaja disusun sedemikian rupa sehingga memungkinkan peserta Diklat belajar Mandiri tanpa atau dengan bantuan seminimal mungkin dari Orang lain (Sadiman, dkk, 1996: 32). Dengan kata lain, modul adalah bahan belajar yang dirancang secara sistematis berdasarkan kurikulum tertentu dan dikemas dalam bentuk satuan pembelajaran terkecil dan memungkinkan dapat dipelajari secara mandiri dalam satuan waktu tertentu (Purwanto, dkk, 2007: 9).
Fungsi modul adalah sebagai bahan belajar yang dignakan dalam kegiatan pembelajaran peserta Diklat. Dengan modul, peserta Diklat diharapkan akan belajar lebih terarah dan sistematis. Selain itu, peserta Diklat diharapkan dapat menguasai kompetensi yang dituntut oleh kegiatan pembelajaran yang diikutinya.
2)      Audio-visual (Video)
Media video adalah media elektronik yang memanfaatkan kekuatan gambar dan suara dalam memeengaruhi penontonnya (Situmorang, 2006, 11) gambar adalah kekuatan utama dan suara sebagai pelengkap atau penguat gambar yang ada. Dengan kedua kekuatan tersebut, media video mempu memengaruhi emosi setiap penontonya. Informasi yang disampaikan lewat media video akan mudah dimengerti dengan jelas karena terdengar secara audio dan terlihat secara visual.
Media video memiliki potensi yang cukup besar untuk dimanfaatkan dalam kegiatan pembelajaran yang memungkinkan peserta Diklat akan dapat mengamati secar langsung tanpa wujud benda yang sesungguhnya. Mengamati proses aslinya.
Program Diklat Jarak Jauh yang proses pembelajarannya menggunakan media video, dimaksudkan untuk menyampaikan materi atau isi pelajaran melalui gambar, suara dan gerak layar televisi dangan format sajian tertentu yang disampaikan kepada peserta Diklat sesuai dengan tujuan pembelajaran atau kompetensi tertentu. 
3)      Bahan Belajar Audio/Radio
Bahan belajar audio biasanya digunakan untuk menyajikan  materi pembelajaran yang memerlukan pemahaman terhadap  konsep, pesan dan informasi verbal melalui pengucapan atau bunyi. Artinya, untuk pengetahuan yang bersifat verbal sangat efektif jika mengguanakan program kaset audio.
4)      Bahan Belajar Multimedia
Multimedia pembelajaran dapat didefinisikan sebagai kombinasi yang terintegrasi dari berbagai media yang terdiri dari teks, grafis, foto, animasi, suara dan video yang dimanfaatkan untuk kegiatan pembelajaran. Oelh karena itu ada tiga aspek yang harus ada dalam program multimedia pembelajaran yaitu : a) adanya lebih dari satu media yang konvergen, b) interaktif, c) mandiri, dalam pengertian memberi kemudahan dan kelengkapan materi pembelajaran sedemikian rupa sehingga peserta Diklat dapat menggunakan untuk belajar mandiri tanpa bimbingan orang lain.
Dengan karakteristik tersebut, multimedia pembelajaran memungkinkan untuk digunakan sebagai media pembelajaran jarak jauh, dengan syarat-syarat sebagai berikut : 1) memperkuat respons pengguna secepatnya dan sesering mungkin, 2) memberikan kesempatan kepada peserta Diklat untuk mengontrol laju kecepatan belajarnya sendiri, 3) memperhatikan bahwa peserta Diklat mengikuti suatu urutan yang koheren dan terkendali, 4) memberikan kesempatan adanya partisipasi dari peserta Diklat dalam bentuk respons baik berupa jawaban, pilihan, kepurusan, percobaan dan lain-lain.

D.    Evaluasi Hasil Belajar Jarak Jauh
1.      Pengertian dan Peranan Evaluasi Hasil Belajar
Evaluasi hasil belajar merupakan komponen penting dalam kegiatan pembelajaran. Tanpa evaluasi hasil belajar, kemajuan dan keberhasilan belajar peserta Diklat sulit diukur. Artinya, evaluasi hasil belajar berfungsi untuk mengukur keberhasilan belajar seseorang atau sekelompok peserta Diklat. Evaluasi hasil belajar Diklat jarak jauh ini menitik beratkan pada penilaian terhadap pencapaian kompetensi berdasarkan prinsip-prinsip belajar tuntas.
Tujuan utama evaluasi pada Diklat Jarak Jauh adalah untuk mengetahui sejauh mana peserta Diklat menguasai tujuan pembelajaran yang ditetapkan , serta mendiagnosis kesuliatan belajar. Sedangkan tujuan evaluasi hasil belajar adalah : (1)        Untuk mengetahui pencapaian indikator atau kompetensi yang telah ditetapkan, (2) Memperoleh umpan balik bagi tutor/instruktur, untuk mengetahui hambatan yang terjadi dalam pembelajaran maupun efektivitas pembelajaran, (3) Memperoleh gambaran yang jelas tentang perkembangan pengetahuan, keterampilan, dan sikap peserta Diklat, dan 4) Sebagai acuan dalam menentukan rencana tindak lanjut (remedial, pengayaan, dan pemantapan) (Soekamto, 2004 ).
Ada beberapa ciri khas dari evaluasi hasil belajar yaitu : (1) Sebagai kegiatan yang sistematis, pelaksanaan evaluasi haruslah dilaksanakan secara berkesinambungan.  Sebuah program pembelajaran seharusnya dievaluasi disetiap akhir program tersebut, (2) Dalam pelaksanaan evaluasi dibutuhkan data dan informasi yang akurat untuk menunjang keputusan yang akan diambil. Asumsi-asumsi atau prasangka bukan bukan merupakan landasan untuk mengambil keputusan dalam evaluasi, dan (3) Kegiatan evaluasi dalam Diklat jarak jauh tidak terlepas dari tujuan-tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Oleh karena itu, pendekatan goal oriented (berorientasi pada pencapaian tujuan) merupakan pendekatanyang paling sesuai untuk evaluasi pembelajaran.

2.      Jenis-jenis Evaluasi Hasil Belajar
Jenis evaluasi hasil belajar pada program Diklat jarak jauh dapat disusun berdasarkan alur peserta Diklat selama mengikuti Diklat mulai registrasi pertama sampai menjelang kelulusan. Berdasarkan alur ini, kompetensi lulusan suatu Diklat jarak jauh yang diharapkan dapat dicapai oleh peserta Diklat makin meningkat seiring dengan lamanya peserta Diklat mengikuti kegiatan pembelajaran. Hal ini dapat dijelaskan melalui definisi jenis-jenis tugas dan tes atau ujian sebagai berikut[2] :
a.       Tes Akhir Modul, dilakukan setelah peserta Diklat menyelasiakan setiap modul pembelajaran Diklat jarak jauh. Artinya, tes akhir modul ini fungsinya sama dengan tes formatif dalam Diklat tatap muka, maka peserta Diklat wajibmengerjakan tes akhir modul.
b.      Tugas Mandiri (TM) merupakan tugas yang harus dikerjakan oleh peserta Diklat secara mandiri, untuk mengukur kemampuan peserta Diklat dalam menguasai materi pembelajaran yang disajikan dalam bahan belajar diluar kegiatan tutor. Tugas mandiri berfungsi untuk memacukan memicu proses belajar peserta Diklat secara mandiri. Tugas mandiri ini dinilai oleh tutor dan nilainya tutornya ikut diperhitungkan dalam penentuan kelulusan peserta Diklat.
c.       Tugas dan partisipasi tutorial merupakan evaluasi yang dilakukan pada saat mengikuti kegiatan tutorial, umumnya diberikan kepada peserta Diklat berkaitan dengan materi tutorial yang diberikan oleh tutor. Tugas tutorial lebih merupakan improvisasi yang dilakukan tutor pada setiap mata pelatihan  sehingga bentuk maupun isi/materi tugas sangat beragam. Dengan demikian, kemampuan yang didiperoleh peserta Diklat dalam menguasai materi pembelajaran beragam, bergantung materi tugas yang diberikan tutor. Namun demikian, kemampuan yang diukur melalui tugas dan partisipasi tutorial tetap bersumber pada kemampuan/kompetensi yang diharapkan dikuasai peserta Diklat setelah mengikuti Diklat jarak jauh.
d.      Praktik dan praktikum merupakan tugas yang diberikan kepada peserta Diklat yang melakukan suatu pengamatan, diskusi atau percobaan yang bersifat penerapan konsep atau teori tertentu yang mengacu pada panduan yang diberikan dari lembaga penyelenggara Diklat dengan bimbingan tutor /instruktur. Memalui praktik dan praktikum diharapka kemampuan peserta Diklat dalam menguasai materi pembelajaran diharapkan lebih mantap dan lengkap.
e.       Ujian Akhir Program (UAP) merupakan evaluasi hasil belajar yang dilakukan pada akhir masa pembelajaran, dimaksudkan untuk menilai kemampuan peserta Diklat terhadap penguasaan materi selama mengikuti Diklat jarak jauh. UAP dilakukan secara serentak serta menggunakan soal yang sama bagi seluruh peserta Diklat, dilaksanakan diberbagai dengan pengawasan.
3.      Pendekatan dalam Penilaian (Evaluasi) Hasil Belajar
Ada dua pendekatan dalam penilaian  hasil pembelajaran, yaitu :
Penilaian Acuan Norma (PAN) atau penilaian acuan relatif, dan
Penilaian Acuan Patokan (PAP) penelitian acuan kriteria, penilaian acuan absolut, kedua pendekatan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.       Pendekatan Penilaian Acuan Norma (PAN)
PAN merupakan penentuan penilaian peserta Diklat dalam satu proses pembelajaran yang didasarkan pada tingkat penguasaan di kelompok itu. Artinya, pemberian nilai mengacu pada perolehan skor di kelompok itu.
b.      Pedekatan Penilaian Acuan Patokan (PAP)
PAP merupakan suatu cara menentukan nilai peserta Diklat yang didasarkan pada pencapaian tujuan pembelajaran. Kelulusan peserta Diklat telah ditentukan dipatok minimal harus menguasai sekian persen dari tujuan pembelajaran. Bilamana peserta Diklat telah memenuhi patokan tersebut, peserta Diklat dinyatakan berhasil. Akan tetapi jika belum memenuhi patokan dikatakan gagal belum menguasai bahan pembelajaran tersebut.
4.      Tahap-tahap Evaluasi Hasil Belajar
Tahapan pelaksanaan evaluasi hasil belajar adalah penentuan tujuan pembelajaran, menentukan desain evaluasi, pngembangan instrumen evaluasi, pengumpulan informasi/data, analisis dan interpretasi serta tindak lanjut. Secara terperinci, tahapan pelaksanaan evaluasi hasil belajar dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.      Menentukan Tujuan
Tujuan evaluasi hasil belajar yaitu, untuk mengetahui capaian penguasaan kompetensi oleh setiap peserta Diklat sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.
2.      Menentukan Rencana Evaluasi
Rencana evaluasi hasil belajar berwujud kisi-kisi, yaitu matriks yang menggambarkan keterkaitan antara behavioral objektives (kemampuan yang menjadi sasaran pembelajaran yang harus dikuasai peserta Diklat) dan course content (bahan belajar yang dipelajari peserta Diklat untuk mencapai kompetensi) serta teknik evaluasi yang akan digunakan dalam menilai keberhasilan penguasaan kompetensi oleh peserta Diklat.
3.      Pengembangan Instrumen Evaluasi
Instrumen evaluasi hasil belajar untuk memperoleh informasi deskriptif dan/atau informasi judmental dapat berupa tes maupun non-tes. Tes dapat berbentuk objektif atau uraian, s3edangkan Non-tes dapat berbentuk lembar pengamatan atau kuesioner. Tes objektif dapat berbentuk jawaban singkat, benar salah, menjodohkan dan pilihan ganda dengan berbagai variasi, pilihan ganda biasa, hubungan antar hal, kompleks, analisis kasus, grafik dan gambar tabel. Untuk tes uraian yang disebut juga tes subjektif dapat berbentuk tes uraian bebas, bebas terbatas dan terstruktur.
4.      Pengumpulan Data atau Informasi
Pengumpulan data atau informasi dalam bentuknya adalah pelaksanaan testing/penggunaan instrumen evaluasi harus dilaksanakan secara objektif dan terbuka agar diperoleh informasi yang sahih dan dapat dipercaya sehingga bermanfaat bagi peningkatan mutu pembelajaran. Pengumpulan data atau informasi dilaksanakan pada setiap akhir pelaksanaan pembelajaran, untuk materi sajian berkenaan dengan satu kompetensi dasar dengan maksud guru/instruktur  dan peserta Diklat memperoleh gambaran menyeluruh dan kebulatan tentang pelaksanaan pembelajaran yang telah dilaksanakan untuk pencapaian penguasaan satu kompetensi dasar.
5.      Analisis dan Interpretasi
Analisis dan interpretasi hendaknya dilaksanakan segera setelah data atau informasi terkumpul. Analisis berwujud deskripsi hasil evaluasi berkenaan dengan hasil belajar peserta Diklat. Analisis dan interpretasi didahului  dengan langkah skoring sebagai tahapan penentuan capaian penguasaan kompetensi oleh setiap peserta Diklat
6.      Tindak Lanjut
Tindak lanjut merupakan kegiatan menindak lanjuti hasil analisis dan interpretasi. Sebagai rangkaian pelaksanaan evaluasi hasil belajar tindak lanjut pada dasarnya berkenaan dengan pembelajaran yang akan dilaksanakan selanjutnya berdasarkan hasil evaluasi pembelajaran yang telah dilaksanakan dan berkenaan dengan pelaksanaan evaluasi pembelajaran itu sendiri.
7.      Pengembangan Tes dan Penyusunan Soal
Tes hasil belajar adalah salah satu alat ukur yang paling banyak digunakan untuk menentukan keberhasilan seseorang dalam suatu proses pembelajaran atau untuk menentukan keberhasilan suatu program pembelajaran atau menentukan keberhasilan suatu program Diklat (Zainul & Nasution, 2001: 32).
Instrumen evaluasi yang baik adalah tes yang pengembangannya memperhatikan prinsip-prinsip pengembangan tes hasil belajar, yakni: (a) tes hasil belajar hendaknya mengukur secara jelas hasil belajar yang telah ditetapkan; (b) tes hasil belajar mengukur sampel representatif dari pembelajaran yang relevan dengan tugas-tugas belajar, (c) tes hasil belajar hendaknya mencakup tipe-tipe dari butir tes yang sangat cocok untuk mengukur hasil tes yang dimaksud, (d) tes hasil belajar hendaknya didasarkan atas rencana untuk menggunakan hasil evaluasi, dan (e) tes hasil belajar hendaknya memberikan skor yang relatif bebas dari kesalahan pengukuran.